Selama
beberapa dekade yang lalu, kita telah mengalami banyak perubahan dalam
pendidikan bagi anak penyandang cacat. Perubahan-perubahan ini termasuk
perubahan dalam kesadaran dan sikap, keadaan, metodologi, penggunaan
konsep-konsep terkait dan sebagainya. Perubahan-perubahan ini tidak hanya
relevan bagi kepentingan dan pengayaan anak penyandang cacat, tetapi juga bagi
pengayaan semua yang terlibat; anak-anak (dengan atau tanpa kecacatan), keluarganya,
guru-guru dan kepala sekolahnya, komunitas sekolahnya dan mungkin masyarakat
secara keseluruhan.
Konsekuensi yang paling penting dari
perubahan-perubahan ini adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya keragaman.
Hal ini juga menghasilkan upaya-upaya untuk “membawa kembali” ke dalam
masyarakat mereka yang sebelumnya telah dipisahkan atau disegregasikan oleh
mayoritas terbesar masyarakat karena mereka berbeda. Diantara yang telah
dipisahkan tersebut kita temukan anak-anak yang mempunyai hambatan belajar dan
perkembangan. Hambatan-hambatan tersebut disebabkan diantaranya oleh kecacatan,
tetapi bukan hanya oleh kecacatan saja.
Selama berabad-abad, di semua negara,
individu dan kelompok yang berbeda dari kebanyakan individu atau kelompok
lainnya selalu ditolak oleh masyarakatnya. Di satu sisi, hal ini terjadi karena
rasa takut terhadap sesuatu yang tidak diketahui, dan di sisi lain karena
perjuangan untuk bertahan hidup (bertahan hidup bagi mereka yang paling kuat).
Anggota kelompok yang terlalu lemah untuk berkontribusi terhadap kelangsungan
hidup kelompoknya dikeluarkan dari keanggotaannya. Tetapi hal ini juga terjadi
pada mereka yang melakukan hal-hal dengan cara yang tidak biasa atau mereka
yang ingin memperkenalkan ide-ide baru. Orang semacam ini sering disebut
pemberontak atau penghianat dan maka dari itu mereka mungkin dibunuh, dikurung
dalam penjara, dalam rumah sakit jiwa atau hanya dikucilkan di dalam
komunitasnya.
Mereka yang berbeda karena kecacatannya diantaranya disebut “lumpuh”, “gila”, atau “lemah pikiran”. Mereka dibiarkan mati, dikurung atau harus melayani atau menghibur orang lain. Mereka sering kali tidak diberi makanan yang cukup dan tidak memperoleh kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna. Mereka kesepian, tidak merasa sebagai bagian dari kelompok sosialnya dan sering merasa tak berguna.
Mereka yang berbeda karena kecacatannya diantaranya disebut “lumpuh”, “gila”, atau “lemah pikiran”. Mereka dibiarkan mati, dikurung atau harus melayani atau menghibur orang lain. Mereka sering kali tidak diberi makanan yang cukup dan tidak memperoleh kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna. Mereka kesepian, tidak merasa sebagai bagian dari kelompok sosialnya dan sering merasa tak berguna.
Kurangnya pengetahuan mengenai hakikat
dan penyebab kecacatan dapat menimbulkan rasa takut sehingga mengembangkan
segala macam kepercayaan dan takhayul. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara
kebudayaan di Utara, Selatan, Timur atau Barat. Misalnya, dulu – bahkan
sekarang pun kadang-kadang masih ada – orang percaya bahwa ibu yang melahirkan
anak cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya.
Secara praktis, psikologis, sosial maupun
budaya, mempunyai seorang anak yang cacat itu memang sulit. Dengan maksud baik,
orang tua sering disarankan untuk melupakan anaknya yang cacat itu dan agar
melahirkan anak yang lain. Di masa lampau, anak-anak yang cacat juga sering
disembunyikan dalam ruangan terkunci, dibuang di ladang atau hutan untuk
bertahan hidup atau mati. Kadang-kadang mereka diberikan kepada orang lain atau
badan amal. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya para ibu dan ayah jarang
melupakan atau berhenti mencintai anaknya itu.
Pemahaman dan pengetahuan baru, kondisi yang lebih baik untuk bertahan hidup, menghargai ajaran baru “kamu tidak boleh membunuh”, tanggung jawab sosial dan moral serta rasa kasihan telah menghasilkan diselamatkannya kehidupan anak-anak ini. Menyelematkan hidup anak itu menjadi penting meskipun itu berarti bahwa anak membutuhkan bantuan dan dukungan ekstra. Pentingnya “investasi” dalam pemeliharaan dan pendidikan anak-anak agar mereka akan dapat “membalas jasa” untuk membantu orang tua mereka di masa tuanya menjadi kurang dominan. Namun, tidaklah mudah bagi keluarga-keluarga untuk membesarkan anak yang berkelainan.
Sekolah Khusus, Asrama Khusus dan
Rumah Khusus Badan-badan amal dan kelompok-kelompok keagamaan mulai membangun
rumah-rumah khusus bagi anak dan orang dewasa penyandang cacat. Beberapa di
antara rumah-rumah tersebut hanya menyediakan akomodasi yang sangat minim,
tetapi ada pula yang diperlengkapi dengan sangat baik dan terletak di daerah
yang indah. Namun tempat-tempat ini sering terisolasi dan tersembunyi dari
pandangan masyarakat umum.
Mereka yang bekerja di tempat-tempat
seperti ini seringkali memandang pekerjaannya itu sebagai takdir hidupnya.
Mereka ingin memberikan dan/atau mengorbankan kehidupannya secara terhormat
dengan memelihara orang-orang yang “lemah” tersebut. Sebagian yang lain
benar-benar peduli dan membaktikan dirinya. Sebagai akibat dari keterlibatan
mereka itu, mereka mendapati bahwa berinteraksi dengan anak-anak dan orang
dewasa yang cacat itu ternyata merupakan pengalaman yang memberi pengayaan.
Namun, secara keseluruhan hanya
sebagian kecil saja dari anak dan orang dewasa penyandang cacat yang dapat
mencapai kualitas hidup yang layak secara materi. Dengan di tempatkan di
sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah dan institusi-institusi khusus, mereka
menjadi terpisah dari keluarga dan komunitas rumahnya. Banyak rumah dan
institusi ini kekurangan staf dan sehingga anak-anak juga orang dewasa menerima
sedikit perhatian sosial. Kurangnya interaksi sosial yang bermakna menyebabkan
kesepian dan perasaan rendah diri. Di beberapa tempat, anak dan orang dewasa
dieksploitasi melalui kerja keras dan situasi yang tidak menguntungkan lainnya.
Pelecehan seksual oleh pegawai atau oleh mereka yang tinggal di rumah/institusi
itu bukan merupakan hal yang tidak biasa.
Penelitian, pengalaman, pengertian
yang lebih baik, evaluasi kembali tentang nilai-nilai dan perubahan-perubahan
dalam ide-ide politik lambat-laun membawa perbaikan dan pengawasan resmi
terhadap kondisi di dalam institusi dan sekolah khusus itu. Layanan
kesejahteraan khusus dikembangkan dan demikian pula perundang-undangan dan
kebijakan resmi (lihat Johnsen 2001).
Akan tetapi, anak-anak dan orang
dewasa tersebut tetap tidak memperoleh kedekatan dan perhatian yang mereka
butuhkan untuk perkembangan sosial emosionalnya. Kurangnya kedekatan dan
stimulasi dapat mengakibatkan mereka mengembangkan prilaku stereotip dan
stimulasi diri. Ini menambah kondisi kecacatan mereka dan membatasi
perkembangan mereka lebih lanjut.
Sekolah Pembaharuan dan Panti Asuhan
Perhatian juga diberikan terhadap anak-anak, remaja dan dewasa yang berada dalam penjara dan sekolah pembaharuan dan institusi lain. Tempat-tempat tersebut juga sangat padat. Kondisi di sana serta pendekatan dan metode yang digunakan untuk “memperbaharui” penghuninya tidak membantu membuatnya layak untuk kembali ke masyarakat. Atau masyarakatnya tidak menerima mereka.
Panti asuhan juga kekurangan staf,
akibatnya anak-anak kehilangan lingkungan yang diperlukan untuk pertumbuhan
fisik dan psikologisnya. Empat puluh anak dengan dua pengasuh atau lebih tidak
mempunyai banyak waktu untuk kontak sosial. Secara
umum, jumlah staf dalam kaitannya dengan jumlah anak seringkali terlalu rendah.
Namun, bahkan jika sebuah institusi dilengkapi dengan staff yang cukup,
perawatan di sebuah institusi tidak dapat sedekat, sehangat dan sebermakna
perawatan dan asuhan dalam sebuah keluarga dan komunitas sekitarnya.
Pengamatan
terhadap sekolah khusus berasrama dan institusi berasrama lainnya menunjukkan
bahwa anak maupun orang dewasa yang tinggal di sana mengembangkan pola prilaku
yang biasanya ditunjukkan oleh orang yang berkekurangan. Prilaku-prilaku ini
mencakup kepasifan, stimulasi diri, prilaku repetitif stereotip dan
kadang-kadang prilaku perusakan diri.
Kita juga dapat melihat bahwa anak
penyandang cacat yang meninggalkan sekolah khusus berasrama sering kali tidak
merasa betah tinggal dengan keluarganya di komunitas rumahnya. Tidak
mengherankan, setelah bertahun-tahun disegregasikan, orang-orang ini dan
keluarga serta komunitasnya akan tumbuh menjadi orang asing satu sama lainnya.
Misalnya, orang tunarungu tidak dapat lagi “berbicara” dengan keluarganya dan
mereka yang tunagrahita menghadapi kesulitan untuk mempraktekkan keterampilan
kehidupan mandirinya.
Banyak orang yang benar-benar merasa
situasi tersebut tidak benar. Orang tua, guru dan orang-orang yang mempunyai
kesadaran politik mulai memperjuangkan hak-hak semua anak pada umumnya dan hak
anak dan orang dewasa penyandang cacat pada khususnya. Salah satu tujuan
utamanya adalah untuk memperoleh hak untuk berkembang di dalam sebuah
lingkungan yang sama dengan orang lain. Ini merupakan awal pembaharuan menuju
“normalisasi” yang pada akhirnya mengarah pada proses inklusi.
Kita juga menjadi paham akan keragaman
alami yang ada dalam setiap kelas reguler. Ini menunjuk pada kondisi-kondisi
selain kecacatan, yang menyebabkan kesulitan atau hambatan belajar dan
perkembangan. Setelah mencobakan bermacam-macam metodologi, ditemukan bahwa
kesulitan dalam belajar membaca, menulis dan berhitung dapat dibantu dengan
mengubah metode pembelajaran dan pengajaran. Kita juga menjadi paham akan
kesulitan yang muncul akibat kondisi sosial, emosional dan/atau politik.
Pada waktu yang bersamaan, kesadaran
akan pentingnya interaksi dan komunikasi (tidak hanya bahasa) sebagai dasar
bagi semua pembelajaran dan penggunaan pendekatan holistik dan orientasi sumber
menjadi lebih lazim atau umum. (lihat juga Johnsen, Rye dan Skjørten 2001)
Normalisasi
Konsep “normalisasi” sering disalah artikan. Ini bukan berarti membuat orang menjadi normal! Tetapi berarti bahwa orang yang menyandang kecacatan harus dilihat sebagai bagian dari masyarakat yang alami dan “normal”. Kebutuhan dan kualitas hidup mereka harus dijamin melalui perundang-undangan dan layanan yang sama seperti perundang-undangan dan layanan yang melindungi dan menjamin kualitas hidup penduduk mayoritas. Ini termasuk perundang-undangan yang berhubungan dengan layanan medis, jaminan sosial, pendidikan, aksesibilitas umum, pekerjaan, rekreasi, dll. Ini juga termasuk hak untuk mempunyai teman, merasakan cinta dan merasakan hubungan seksual, termasuk hak untuk mempunyai anak jika menginginkannya.
Kita telah berpengalaman ketika dulu
pendidikan anak penyandang cacat merupakan tanggung jawab Kementrian Kesehatan
atau Kesejahteraan Sosial. Penting untuk ditunjukkan bahwa semua pendidikan
anak seharusnya menjadi tanggung jawab Kementrian Pendidikan, Kementrian
Kesehatan harus menangani kesehatan dan Kementrian Tenaga Kerja menangani
pekerjaan.
Jika membahas tentang hak, penting
untuk digarisbawahi bahwa orang penyandang cacat juga mempunyai kewajiban dan
tanggung jawab terhadap orang lain dan masyarakat seperti layaknya orang lain
pada umumnya. Tujuan akhirnya adalah bahwa setiap orang harus merasa
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan apa yang dapat diberikannya
dan pada saat yang bersamaan mempunyai hak untuk menerima apa yang
dibutuhkannya. Pada kenyataannya mungkin tidak akan pernah seideal itu. Namun,
setidaknya kita harus mencoba meraih dan menjangkau ke arah pencapaian tujuan
tersebut. Pengakuan dan perubahan-perubahan yang
dibahas di atas merupakan hal yang secara bertahap menghasilkan praktek
integrasi dan pada akhirnya memulai proses menuju inklusi.
Inklusi
Kita telah diciptakan sederajat
walaupun berbeda-beda. Apapun
jenis kelamin, penampilan, kesehatan atau kemampuan berfungsi, kita telah
diciptakan ke dalam satu masyarakat.Penting untuk diakui bahwa sebuah
masyarakat normal ditandai oleh keragaman dan keserbaragaman – bukan oleh keseragaman. Namun,
pada kenyataannya anak-anak dan orang dewasa yang berbeda dalam kebutuhannya dari kebutuhan kebanyakan
orang telah dipisahkan dengan alasan yang beragam untuk waktu yang terlalu lama
– semua alasan tersebut tidak adil.
Dalam
40-50 tahun terakhir upaya telah dilakukan untuk membuat agar pendidikan dapat
diakses oleh semua anak. Perubahan-perubahan sebagai hasil dari
diskusi-diskusi, konferensi, deklarasi dan konvensi tingkat lokal, nasional dan
internasional telah dicoba untuk diperkenalkan. Perubahan perilaku dengan
harapan mengarah pada konsekuensi praktis telah ditargetkan. Namun, di banyak
negara hanya 50-60 % anak-anak tanpa kecacatan dan hanya 2-3 % anak yang
menyandang kecacatan masuk sekolah.
Melihat kembali ke dalam sejarah, saya
ingin menyebutkan peristiwa dan publikasi berikut ini:
1948
|
Deklarasi Hak Asasi Manusia –
termasuk hak atas pendidikan dan partisipasi penuh di masyarakat untuk semua
orang – PBB
|
1989
|
Konvensi Hak Anak (PBB, diumumkan
tahun 1991)
|
1990
|
Pendidikan untuk semua: Konferensi
dunia tentang Pendidikan untuk Semua di Jomtien, Thailand, menghasilkan
tujuan utama berikut ini:
- membawa semua anak masuk sekolah - memberikan semua anak pendidikan yang sesuai Dalam prakteknya sesungguhnya ini tidak mencakup anak-anak yang berkebutuhan khusus (UNESCO, diumumkan tahun 1991 dan 1992) |
1993
|
Peraturan Standar tentang Kesamaan
Kesempatan bagi Penyandang Cacat (PBB, diumumkan tahun 1994)
|
1994
|
Penyataan Salamanca tentang
Pendidikan inklusif (UNESCO diumumkan pertama tahun 1994, laporan akhir tahun
1995)
|
Konsep-konsep baru telah diperkenalkan
melalui Pernyataan Salamanca dan beberapa konsep telah diperkenalkan sebelumnya
dan sejak itu. Konsep-konsep ini penting karena menggambarkan proses dan
perubahaan saat ini.
Penyataan Salamanca
Dalam Penyataan Salamanca hal-hal
berikut diantaranya ditekankan:
- Hak semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan temporer dan permanen untuk memperoleh penyesuaian pendidikan agar dapat mengikuti sekolah.
- Hak semua anak untuk bersekolah di komunitas rumahnya dalam kelas-kelas inklusif.
- Hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan yang berpusat pada anak yang memenuhi kebutuhan individual.
- Pengayaan dan manfaat bagi mereka semua yang terlibat akan diperoleh melalui pelaksanaan pendidikan inklusif
- Hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan berkualitas yang bermakna bagi setiap individu
- Keyakinan bahwa pendidikan inklusif akan mengarah pada sebuah masyarakat inklusif dan akhirnya pada keefektifan biaya.
Salah satu delegasi konferensi
tersebut, Mr. Lindquist, yang dirinya sendiri tunanetra, mengatakan:
… bukan sistem pendidikan kita yang
mempunyai hak atas anak-anak tertentu.
Tetapi sistem yang ada di negara itulah yang harus disesuaikan agar dapat
memenuhi kebutuhan semua anak (UNESCO 1994)
Tetapi sistem yang ada di negara itulah yang harus disesuaikan agar dapat
memenuhi kebutuhan semua anak (UNESCO 1994)
Siapakah anak-anak yang berkebutuhan
temporer atau permanen itu yang membutuhkan penyesuaian pendidikan karena
hambatan belajar dan perkembangannya?
Berikut adalah pelajar yang mempunyai
kebutuhan temporer atau permanen dikarenakan:
- Kondisi sosial emosional, dan/atau
- Kondisi ekonomi, dan/atau
- Kondisi politik, dan/atau
- Kecacatan bawaan dan/atau
- Kecacatan yang didapat pada awal kehidupannya atau kemudian.
Dengan kata lain, kita tidak
membicarakan tentang minoritas anak yang menyandang kecacatan , kita
membicarakan tentang sejumlah besar anak termasuk mereka yang menyandang
kecacatan. Kita membicarakan tentang sebagian besar anak yang bersekolah.
Pernyataan Salamanca juga menekankan
dengan sangat jelas bahwa:
- Semua anak dapat dididik walaupun mengalami hambatan belajar dan perkembangan yang sangat berat.
- Pendidikan inklusif harus memberikan pendidikan yang akan mencegah anak-anak mengembangkan harga diri yang buruk serta konsekuensi yang dapat ditimbulkannya.
- Pendidikan inklusif bertujuan menciptakan kerjasama bukannya persaingan.
Konsekuensi dari hal-hal tersebut di
atas harus membawa perubahan penting di sekolah. Pertama-tama, ini akan
melibatkan lebih banyak penekanan pada perkembangan kesadaran sosial termasuk
interaksi dan komunikasi yang lebih baik dengan dan diantara siswa. Ini juga
dapat mencakup penyesuaian dalam isi materi untuk membuat pendidikan lebih
berarti bagi tiap siswa.
Berikut
ini saya akan jabarkan beberapa konsep yang relevan. Namun penting untuk
dipahami bahwa mungkin terdapat perbedaan antara presentasi saya ini dengan
penjelasan tentang konsep-konsep yang diberikan oleh penulis lain.
Sebagaimana
dapat dilihat di atas, hambatan belajar dan perkembangan dapat terdiri dari banyak
bentuk. Di masa lalu, pendekatan-pendekatan pengajaran anak yang berkelainan
ditentukan oleh diagnosis medis yang diberikan kepada mereka. Dengan pendekatan
tersebut, anak-anak dengan diagnosis yang serupa harus diajar dengan cara yang
sama.
Sekarang kita menyadari bahwa walaupun
pembelajaran akan dipengaruhi oleh kecacatan, tetapi ada faktor-faktor lain
yang lebih penting. Faktor-faktor tersebut dapat terletak dalam pengalaman
tergantung pada:
- Lingkungan, termasuk sikap terhadap anak-anak pada umumnya dan terhadap anak tertentu karena:
- Lingkungan yang tidak responsif dan kurang stimulasi
- Pemahaman atau kesalahpahaman guru akan proses pembelajaran.
- Isi, pendekatan pengajaran dan materi pembelajaran
- Faktor-faktor lingkungan umum yang berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik di masa lalu dan sekarang
- Faktor-faktor dalam diri anak termasuk:
- Keingintahuan
- Motivasi
- Inisiatif, interaksi dan komunikasi
- Kompetensi sosial
- Kreatifitas
- Temperamen
- Dorongan untuk belajar dan gaya belajar
- Kemampuan
- Hakikat dan tingkat kecacatan kecacatan, jika ini merupakan bagian dari gambaran tentang anak itu.
Dari poin-poin di atas kita dapat
melihat bahwa hambatan belajar dapat terjadi juga ketika tidak ada kecacatan
terlibat di sana. Kita juga dapat melihat kompleksitas dan multiplisitas
kondisi pembelajaran itu. Diharapkan dengan mempertimbangkan semua faktor ini
akan meningkatkan pemahaman kita tentang keunikan setiap individu anak. Apa
yang harus kita ingat adalah bahwa menghadapi keunikan dapat menjadi tantangan
yang besar dalam sebuah kelas dan khususnya dalam kelas yang besar.
Konsep
“hambatan belajar dan perkembangan” menarik perhatian kita pada kesulitan dan
tantangan yang dapat muncul di setiap kelas, kesulitan-kesulitan yang dapat
dihadapi oleh semua anak. Namun, konsep ini juga membantu kita menyadari
besarnya implikasi dari hambatan belajar yang disebabkan oleh faktor sensori,
motorik, kognitif, emosional dan lingkungan. Ini membantu kita menyadari bahwa,
misalnya, penguasaan Braille oleh seorang anak tunanetra tidak mengatasi semua
hambatan akibat ketunanetraannya.
Seperti
yang disebutkan di atas, anak-anak dengan diagnosis yang sama pada dasarnya
diajar dengan cara yang sama. Sekarang kita menyadari bahwa anak-anak dengan diagnosis
medis yang sama dapat belajar dengan cara yang jauh berbeda. Dengan kata lain,
mereka dapat mempunyai kebutuhan pendidikan yang berbeda-beda.
Diagnosa seperti yang diberikan di
masa lalu menyebabkan anak-anak diberi label yang mengakibatkan gurunya
memfokuskan pada keterbatasan yang dapat disebabkan oleh kecacatannya. Ini
dapat mengakibatkan guru tidak menyadari potensi yang ada pada diri anak.
Pemberian label dan pelatihan yang terlalu dispesialisasikan juga menyebabkan
banyak guru khusus kehilangan pemahaman yang holistik tentang anak tersebut dan
tidak menggunakan pendekatan holistik bagi pengajarannya. Ini mengakibatkan
timbulnya “anemia pendidikan” dan mencegah pengayaan.
Bila memfokuskan pada potensinya,
bukan pada hambatan belajarnya, guru akan berusaha untuk melakukan asesmen
terhadap anak itu, bukan mendiagnosanya. Dengan kata lain, pertama-tama asesmen
memfokuskan pada apa yang dapat dan senang dilakukan oleh anak. Ini akan
membuka jalan untuk menemukan potensi pendidikan anak serta kebutuhannya.
Perubahan pendekatan atau paradigma
ini di antaranya menuntut penggunaan konsep-konsep yang baru. Diharapkan hal
ini juga akan mengkomunikasikan sikap yang berbeda. Beberapa konsep dimaksudkan
untuk menempatkan diri anak sebagai pusat perhatian, bukan kecacatannya: “anak
yang tunarungu”, bukan “tunarungu” saja.
Konsep-konsep
lain akan menekankan perubahan pendekatan (atau paradigma), seperti
"assessment" bukannya "diagnosis", atau "special needs
education", "supportive education" atau "individually adjusted
education" bukannya "special education".
Special Education - Special Needs
Education, Supportive Education, Individually Adjusted Education
Special
education (yang pada umumnya diterjemahkan sebagai pendidikan luar biasa)
sebagaimana yang sering dipahami dulu adalah pendidikan yang menyediakan seting
khusus seperti kelas khusus, sekolah khusus dan sekolah atau lembaga khusus
dengan pengasramaan. Pendidikan luar biasa ini sering hanya ditargetkan pada
anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita atau tunadaksa. Penyediaan pendidikan
semacam ini tidak selalu memenuhi kebutuhan pendidikan anak.
Dengan konsep tersebut, di banyak
negara anak yang mempunyai kesulitan khusus dalam berbahasa – membaca – menulis
dan/atau matematika tidak terlayani. Anak yang dianggap nakal dan yang
dikucilkan akibat keadaan sosial, emosional, ekonomi atau politik tidak
terlayani juga. Namun, di beberapa tempat anak-anak ini dilayani dengan
pengajaran remedial. Pengajaran remedial (juga disebut pengajaran korektif atau
terapeutik) biasanya dilakukan dalam seting segregasi dan sering difokuskan
pada apa yang tidak dapat dilakukan oleh anak. Kadang-kadang ini mengakibatkan
berkurangnya harga diri dan menambah masalah. Sering kali ini memberi label
“bodoh” atau “nakal” pada anak sehingga mengurangi harga diri dan pada saat
yang bersamaan tidak memecahkan masalah.
Salah satu kelemahan dari pendidikan
segregasi adalah isolasi dan hilangnya kesempatan berbagi dengan teman sebaya
dan belajar satu sama lain tentang prilaku dan keterampilan yang relevan.
Special Needs
Education (Pdndidikan Kebutuhan Khusus), Supportive Education (Pendidikan
Suportif), Individually Adjusted Education (Pendidikan Yang Disesuaikan Secara
Individual)
Di Norwegia kami mengatakan bahwa anak
tersayang mempunyai banyak nama. Banyak pembahasan mengenai nama terbaik yang
harus kita berikan kepada pendekatan yang kita gunakan ketika mempertimbangkan
kebutuhan pendidikan individu dalam seting inklusif. Sebagai hasil dari
keputusan politis yang dibuat di beberapa negara sebelum konferensi dunia di
Salamanca dan keputusan politis yang dibuat sebagai hasil dari konferensi
tersebut, kita dapat mengatakan bahwa:
- Kebanyakan negara menginginkan semua anak bersekolah di satu sekolah yang komprehensif
- Kebanyakan negara menyadari bahwa beberapa anak akan membutuhkan kegiatan-kegiatan sekolah yang disesuaikan menurut individu baik sebagian maupun secara penuh. Mereka mungkin membutuhkan hal ini secara temporer atau permanen. Penting untuk dicatat bahwa sebagian besar dari aktivitas ini dapat dilakukan di kelas reguler.
Penting untuk disadari bahwa guru
biasanya dapat membuat penyesuaian pendidikan bila mereka telah mengembangkan
pandangan dan keterampilan pendidikan holistik, yang terpusat pada diri anak.
Tetapi mereka juga mungkin perlu pelatihan untuk memperoleh metode dan teknik
yang diperlukan untuk diterapkan. Namun, kita tidak dapat berharap bahwa guru
akan dapat mengatasi semua tantangan yang dihadapinya. Mereka mungkin
kadang-kadang memerlukan saran dan bimbingan dari seorang ahli. Bimbingan
tersebut harus diberikan oleh guru yang mempunyai keahlian berdasarkan
pengalaman praktek digabung dengan pengetahuan berbasis penelitian. Penting
bahwa penelitian tersebut harus dalam konteks dan kondisi lokal.
Kadang-kadang guru memerlukan saran
dari profesional lainnya selain guru. Akan tetapi penting bahwa saran dari
profesi lain tersebut disesuaikan menurut pendekatan pendidikan. Seorang
fisioterapis atau ahli terapi okupasional mungkin tahu apa yang harus dilakukan
terhadap anak tetapi tidak tahu cara menerapkannya menurut cara pendidikan yang
holistik.
Karena pertimbangan asosiasinya dengan
masa lampau, kita tidak ingin menyebut pendidikan dengan penyesuaian tersebut
sebagai pendidikan luar biasa. Karena kita melayani kebutuhan khusus bagi
individu anak itu, ada yang ingin menyebut pendidikan semacam ini sebagai
“pendidikan kebutuhan khusus”. Sebagian lain mengatakan bahwa konsep apapun
termasuk kata “khusus” adalah labeling. Maka dari itu, beberapa orang
menyarankan penggunaan “pendidikan suportif” atau “pendidikan yang disesuaikan
secara individu”.
Masalah
yang paling penting adalah:
- Anak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas yang sesuai dengan potensi dan kebutuhannya dan terkait dengan kurikulum nasional.
- Kebutuhan tersebut kadang-kadang dapat dikhususkan, sehingga kita harus berhati-hati untuk tidak mengurangi kualitasnya karena khawatir akan labeling.
- Anak mempunyai hak berada di kelas bersama dengan teman sebayanya.
Ini di antaranya berarti bahwa
pendidikan guru harus memperkenalkan perubahan radikal untuk menyiapkan
guru-guru agar dapat memenuhi tantangan tersebut. Ini
juga berarti bahwa sistem (termasuk kurikulum, peraturan dan
ketentuan-ketentuan) harus fleksibel agar tuntutan akan adanya keragaman
tersebut dapat dipenuhi. Ini mencakup perubahan radikal dalam kebiasaan dan
sistem ujian di banyak negara.
Merupakan tanggung jawab pihak
otoritas untuk menyediakan kesempatan bagi guru menerima bimbingan yang
disebutkan di atas agar mereka dapat menghadapi situasi yang sulit. Ini
menuntut penelitian yang terfokus dan pelatihan yang terfokus dalam bidang yang
terspesialisasi. Penelitian dan pelatihan tersebut harus dilakukan tanpa
mengurangi perhatian terhadap pendekatan pembelajaran dan perkembangan yang
holistik dan terpusat pada diri anak.
Apakah kita akan menyebut bidang
penelitian dan pendidikan yang terspesialisasi ini sebagai “pendidikan
kebutuhan khusus“, “pendidikan suportif“ atau “pendidikan yang disesuaikan
dengan individu“ masih dapat diperdebatkan. Masalah utamanya adalah bahwa
bagaimana semua anak dapat memperoleh pendidikan berkualitas yang bermakna di
dalam lingkungannya yang alami dalam seting inklusif.
Integrasi
dan Inklusi - Perbedaan Utama
Integrasi
Integrasi siswa penyandang cacat ke dalam taman kanak-kanak atau
sekolah reguler telah dilakukan selama bertahun-tahun dan dengan cara yang
berbeda-beda. Anak-anak penyandang cacat yang mengikuti kelas atau sekolah
khusus dipindahkan ke sekolah reguler ketika mereka dianggap siap untuk
mengikuti suatu kelas di sekolah reguler. Mereka sering ditempatkan dalam suatu
kelas berdasarkan tingkat keberfungsiannya dan pengetahuannya bukan menurut
usianya. Misalnya kita dapat menemukan anak berusia 12 tahun berada di kelas
satu.
Terdapat macam-macam model integrasi.
Model-model ini beragam dari pertemuan yang sesekali dan jarang hingga menjadi
anggota penuh dari sebuah kelas reguler.
Contoh model-model tersebut adalah:
Contoh model-model tersebut adalah:
- Integrasi dalam acara-acara kebudayaan tertentu
- Integrasi fisik dimana siswa penyandang cacat hanya terlihat
- Berada satu kompleks bersama-sama dengan siswa non-cacat, kompleks yang terdiri dari dua bangunan sekolah dengan aktivitas yang terpisah dan tidak mempunyai waktu istirahat yang sama.
- Mempunyai waktu istirahat yang bersamaan, saling bertemu satu sama lain tetapi tidak ada kegiatan bersama – setidaknya tidak dirancang untuk itu.
- Siswa penyandang cacat ditempatkan di kelas reguler tanpa perhatian ekstra terhadap kebutuhan akademis dan sosialnya – biasanya berdampak buruk terhadap morilnya.
- Partisipasi yang sistematis atau sporadis bagi siswa penyandang cacat tertentu atau untuk pelajaran-pelajaran tertentu di kelas reguler tertentu – biasanya dalam kegiatan musik, keterampilan atau olahraga.
- Partisipasi reguler di kelas reguler untuk mata pelajaran tertentu.
- Pada prinsipnya partisipasi penuh dalam kelas reguler tetapi harus meninggalkan kelas untuk mendapatkan pelatihan khusus di ruang khusus sehingga ketinggalan sebagian kegiatan kelas.
- Kadang-kadang siswa penyandang cacat melakukan hal tersebut sebagai pengganti kegiatan ekstrakurikuler, akibatnya mereka kehilangan kesempatan untuk aktivitas pilihan atau interaksi sosial
Ilustrasi 1:
Integrasi – sebuah model umum
Anak-anak berkebutuhan khusus dididik
dalam seting terpisah agar dapat mengikuti kelas reguler di kemudian hari.

Ilustrasi 2:
Integrasi – sebuah model umum lanjutan.
Kelompok atau individu-individu tertentu
dari kelas khusus mengunjungi kelas reguler untuk aktivitas bersama atau mata
pelajaran tertentu.
![]() |
Ini dilakukan dengan atau tanpa guru
khusus atau guru bantu.
Anak-anak ini sering dianggap dan
merasa sebagai “tamu“.
|
Pada semua model di atas prinsip
utamanya adalah bahwa anak penyandang cacat harus menyesuaikan diri dengan
ketentuan sistem dan aktivitas kelas reguler. Dalam keadaan demikian, anak sering
dianggap sebagai spesial dan kadang-kadang aneh.
Disamping itu, anak-anak yang
berkebutuhan khusus sering dianggap dan merasa sebagai “tamu“ di kelas reguler.
Mereka akan merasa sekedar diberi izin untuk berada di dalam kelas tanpa hak
penuh sebagai anggota kelas itu. Mereka akan melakukan segala sesuatu untuk
menyenangkan pihak mayoritas. Secara harfiah, mereka bahkan akan membeli hak
partisipasinya (misalnya dengan memberi permen, selalu berbuat baik dan
bersikap melayani).
Inklusi
Dalam lingkungan masyarakat inklusif, kita siap mengubah dan menyesuaikan sistem, lingkungan dan aktivitas yang berkaitan dengan semua orang lain serta mempertimbangkan kebutuhan semua orang. Bukan lagi anak yang menyandang kecacatan yang harus menyesuaikan diri agar cocok dengan seting yang ada. Untuk ini diperlukan fleksibilitas, kreativitas dan sensitivitas.
Dalam lingkungan masyarakat inklusif, kita siap mengubah dan menyesuaikan sistem, lingkungan dan aktivitas yang berkaitan dengan semua orang lain serta mempertimbangkan kebutuhan semua orang. Bukan lagi anak yang menyandang kecacatan yang harus menyesuaikan diri agar cocok dengan seting yang ada. Untuk ini diperlukan fleksibilitas, kreativitas dan sensitivitas.
Ilustrasi 3: Inklusi:
keluarga – taman kanak-kanak – sekolah – pekerjaan yang inklusif
![]() |
Keluarga, sekolah, atau kelas yang
inklusif adalah di mana:
|
Masyarakat inklusif (keluarga, taman
kanak-kanak, sekolah atau kelas, tempat bekerja dan komunitas secara
keseluruhan) adalah dimana:
- Semua anak dan orang dewasa adalah anggota kelompok yang sama
- Berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain
- Membantu satu sama lain untuk belajar dan berfungsi
- Saling tenggang rasa satu sama lain
- Menerima kenyataan bahwa sebagian anak (atau orang dewasa) mempunyai kebutuhan yang berbeda dari mayoritas dan kadang-kadang akan melakukan hal yang berbeda
- Cenderung bekerjasama daripada bersaing
- Semua anak mempunyai rasa memiliki dan bermitra
- Walau jika anak-anak tertentu karena berbagai alasan mempunyai suatu kebutuhan untuk menerima perhatian berkala di luar kelas.
- Setiap orang akan memandang hal ini sebagai suatu hal yang alami
- Ini tidak akan mengganggu rasa menjadi anggota atau rasa memiliki kelompok/kelasnya.
Persyaratan Agar
Proses Inklusi Dapat Dilaksanakan
Legislasi dan peraturan saja tidak
dapat melaksanakan inklusi. Proses menuju inklusi itu panjang dan, antara lain,
akan membutuhkan:
- Perubahan hati dan sikap
- Reorientasi yang berkaitan dengan asesmen, metode pengajaran dan manajemen kelas termasuk penyesuaian lingkungan.
- Redefinisi peran guru dan realokasi sumber daya manusia
- Redefinisi peran SLB yang ada. Misalnya, dapatkah sekolah-sekolah ini secara bertahap mulai berfungsi sebagai pusat sumber yang ekstensif?
- Penyediaan bantuan profesional bagi para guru dalam bentuk
- Reorientasi pendidikan guru sehingga guru-guru baru dapat memberikan kontribusi kepada proses menuju inklusi dan bersikap fleksibel jika diperlukan.
- Reorientasi pelatihan dalam jabatan dan penataran guru, kepala sekolah dan guru kelas sehingga mereka juga akan dapat memberikan kontribusi terhadap proses menuju inklusi dan bersikap fleksibel jika diperlukan.
- Layanan guru kunjung menurut kebutuhan
- Pembentukan, peningkatan dan pengembangan kemitraan antara guru dan orang tua, demi saling reorientasi dan melakukan peningkatan serta pertukaran pengalaman, bantuan dan nasehat.
Inklusi juga akan memerlukan sistem
pendidikan yang fleksibel termasuk kurikulum dan sistem ujian yang fleksibel.
Inklusi dan Pengayaan
Melalui integrasi orang menawarkan
bantuan kepada siswa yang menyandang kecacatan. Di lain pihak inklusi akan
menghasilkan pengayaan bagi semua mitra yang terlibat. Dengan inklusi, akan
ada:
- Pengayaan bagi semua anak yang terlibat, baik mereka yang memiliki ataupun tanpa kebutuhan khusus yang temporer dan/atau permanen.
- Pengayaan bagi semua guru yang langsung atau tak langsung terlibat.
- Pengayaan bagi semua orang tua dan keluarga yang terlibat.
- Pengayaan bagi komunitas sekolah secara keseluruhan.
- Pengayaan bagi masyarakat luas. (lihat juga Befring 2001).
Implementasi
Inklusi
Pertanyaan
Ketika berangkat dalam perjalanan panjang menuju inklusi terdapat banyak pertanyaan yang akan diajukan. Berikut adalah beberapa dari pertanyaan-pertanyaan tersebut:
Ketika berangkat dalam perjalanan panjang menuju inklusi terdapat banyak pertanyaan yang akan diajukan. Berikut adalah beberapa dari pertanyaan-pertanyaan tersebut:
- Mengapa ada anak yang mengalami hambatan belajar?
- Pendidikan macam apa yang dapat menimbulkan kreativitas, penguasaan , pembelajaran dan perkembangan?
- Bagaimana kita dapat meningkatkan komunikasi dan sikap berbagi antara semua siswa?
- Pendidikan macam apakah yang dibutuhkan oleh anak untuk kehidupan masa depannya termasuk isi, metode, teknik dan gaya belajar dan bekerja?
- Apa yang membuat suatu sistem sekolah itu baik?
- Apa yang membuat guru itu baik?
- Apa yang membuat asesmen itu baik?
- Apa yang membuat kurikulum itu baik?
Kita berpikir bahwa inklusi atau
proses menuju inklusi sangat penting karena kita percaya bahwa semua anggota
masyarakat mempunyai hak atas kesempatan yang sama. Namun, kita juga telah
mengetahui bahwa inklusi akan memberikan pengayaan untuk kita semua.
Pertanyaan yang besar adalah:
- Apakah inklusi itu hanya mimpi?
Mungkin saja hanya mimpi jika
masyarakat tidak mulai atau tidak terus melakukan tindakan aktif yang intensif.
Kita dapat bergerak lebih dekat dan lebih dekat lagi kepada inklusi jika
individu, organisasi serta lembaga-lembaga dalam pemerintahan lokal dan
nasional mempersatukan semua upayanya.
Penting untuk diingat bahwa kita tidak
dapat mengembangkan model nasional untuk inklusi. Inklusi menuntut setiap
sekolah, komunitas dan bangsa untuk mengembangkan cara terbaiknya untuk
memenuhi tantangan agar maju menuju inklusi.
Ilustrasi 4 menunjukkan beberapa
faktor yang harus dipertimbangkan.
Berikut ini saya akan menjelaskan
faktor-faktor tersebut.
Untuk mengimplementasikan Inklusi,
faktor-faktor berikut ini harus dipertimbangkan
![]() |
Waktu
diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan
Waktu diperlukan untuk berinovasi dan memperkenalkan perubahan Waktu dibutuhkan untuk evaluasi dan monitoring diri yang berkesinambungan |
Penting
untuk menyadari bahwa aspek-aspek yang berbeda yang tercantum pada ilustrasi di
atas berkaitan erat dan saling tergantung satu sama lain [interdependent].
Banyak negara-negara mempunyai perundang-undangan dan kebijakan yang diperlukan
untuk implementasi sekolah inklusif. Masalahnya terletak pada pelaksanaan
kebijakan tersebut.
Implementasi
sangat tergantung pada sikap, pengetahuan, fleksibilitas dan kemampuan kreatif
untuk memecahkan masalah dan menndesentralisasikan pengambilan keputusan hingga
kepada individu guru, orang tua dan anak.
Kebijakan – hukum -
undang-undang - ekonomi
- Kebijakan merefleksikan ideologi suatu negara
- Satu hukum untuk semua adalah dasar untuk inklusi
- Undang-undang harus disusun sedemikian rupa sehingga kebutuhan setiap orang terakomodasi oleh undang-undang yang sama.
- Undang-undang khusus untuk kelompok orang tertentu akan menghasilkan segregasi. Namun, penjelasan undang-undang serta petunjuk pelaksanaannya penting untuk menjamin pemuasan kebutuhan semua anak maupun orang dewasa.
- Implementasi undang-undang harus didukung dengan penyediaan alokasi dana yang memadai.
Sikap
berkembang dengan cara yang kompleks dan tergantung pada pengalaman dan
pengetahuan. Suatu reorientasi diperlukan dan karenanya akan penting untuk
memfokuskan pada:
- Pengakuan atas hak anak serta kemampuan dan potensinya.
- Penting untuk mendorong dan mendukung anak yang berinisiatif, bertanya, berbeda pendapat dengan orang dewasa, dan membuat keputusan sendiri.
- Mengakui bahwa semua anak dapat belajar dan karenanya juga mengambil manfaat dari pendidikan.
- Kemajuan dalam pengetahuan mengenai anak, interaksi, komunikasi dan proses belajar.
- Mengakui bahwa kondisi lingkungan mengakibatkan hambatan belajar dan perkembangan yang sama banyaknya atau bahkan mungkin lebih banyak daripada kecacatan.
- Mengakui tentang perlunya penataran profesional yang berkesinambungan berdasarkan pengalaman dan penelitian yang menekankan pemahaman terhadap sebab-akibat dari pandangan holistik yang berkaitan dengan belajar dan interaksi sosial.
- Mengenali bahwa bahasa mencerminkan sikap (“penderita cacat” versus “penyandang cacat”).
- Mendiseminasikan pengetahuan melalui program pengembangan kesadaran masyarakat:
- Kegiatan budaya
- Pamflet
- Koran, radio, TV.
Kurikulum Lokal, Regional
atau Nasional
Di
banyak negara, kurikulum dipatuhi secara kaku. Penting untuk mengecek dan recek
untuk memastikan bahwa kurikulum sesuai dengan kebijakan dan undang-undang.
Bila mengkaji suatu kurikulum, kita harus melihat apakah kurikulum tersebut berisi:
Bila mengkaji suatu kurikulum, kita harus melihat apakah kurikulum tersebut berisi:
- Rencana yang akan meningkatkan pendidikan yang sesuai dengan kebijakan, termasuk mempersiapkan anak untuk kehidupan
- Cukup ruang untuk fleksibilitas berdasarkan asesmen, evaluasi dan monitoring diri yang berkesinambungan. Pertimbangan juga harus diberikan terhadap keunikan dan gaya belajar yang berbeda dari anak tersebut.
- Kemungkinan pengadaptasian kurikulum berdasarkan pada:
- Kebutuhan siswa
- Pengetahuan tentang teori belajar secara umum
- Pengetahuan tentang perlunya interaksi dan komunikasi untuk proses belajar
- Pengetahuan tentang apa yang harus dipertimbangkan ketika membuat penyesuaian
- Pengetahuan tentang bagaimana kondisi khusus dan kecacatan dapat mempengaruhi belajar
- Pengetahuan tentang pentingnya melakukan penyesuaian lingkungan
- Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian
- Penelitian lokal
- Penelitian internasional jika sesuai
- Kondisi lingkungan dan budaya setempat
Perubahan Pendidikan yang
Potensial
Inklusi
harus didukung oleh reorientasi di lapangan, dalam bidang pendidikan guru dan
dalam penelitian. Perubahan harus diperkenalkan sehubungan dengan:
- Relevansi dengan apa yang dipelajari dan diajarkan di sekolah.
- Sekolah, termasuk kepala sekolah dan guru perlu lebih mandiri sehubungan dengan:
- Melakukan penyesuaian kurikulum
- Melakukan perubahan pada manajemen sekolah dan kelas yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa
- Penggunaan ruang kelas tambahan
- Perubahan dalam peran guru
- Lebih menekankan pada faktor sosial dan emosional dan perubahan pada prioritas akademik
- Lebih menekankan kerjasama daripada persaingan
- Mengubah sistem ujian dan evaluasi dan mengurangi kadar persaingan yang diakibatkan olehnya.
Hal-hal
tersebut di atas akan menuntut atas re-orientasi dan perubahan pada pendidikan
guru. Mahasiswa calon guru harus diperlakukan secara sama seperti halnya kita
ingin mereka memperlakukan murid-muridnya. Peningkatan kerja kelompok dan tugas
kelompok harus dilakukan demi meningkatkan pengayaan akademik, fisik, sosial
dan emosional bagi semua stakeholders yang terlibat. Dengan demikian kerja
kelompok dan tim dapat menjadi lebih dominan di sekolah yang melibatkan guru
dan siswa.
Perubahan
juga harus terjadi dalam sistem ujian. Pertanyaan-pertanyaan harus mencakup
berbagai mata pelajaran secara terintegrasi dan menuntut alasan bagi jawaban
yang diberikan. Dengan demikian kita tidak hanya akan mengetes jumlah informasi
yang diingat siswa tetapi akan memotivasi siswa untuk berfikir secara lebih
holistik.
Inovasi
dalam pendekatan penelitian dan penggunaan metoda penelitian juga diperlukan.
Ini akan memberikan kesempatan yang lebih baik untuk meneliti keragaman lokal
dan mengembangkan pemahaman yang mendalam.
Kerjasama Lintas Sektoral
Kerjasama
lintas sektoral pada berbagai level akan sangat penting. Pertama-tama saya
ingin menekankan, seperti yang telah disebutkan di atas, tentang pentingnya
pendidikan untuk semua anak diselenggarakan di bawah naungan departemen
pendidikan. Ini tidak menghalangi bantuan dari departemen-departemen lain,
seperti departemen kesehatan dan departemen sosial, dalam memberikan bantuan
dan dukungan yang diperlukan. Begitu juga dengan departemen tenaga kerja jika
diperlukan harus dapat membantu dalam semua masalah yang berhubungan dengan
pekerjaan.
Kerjasama
antara guru-guru berbagai mata pelajaran juga diperlukan jika tujuannya adalah
untuk meningkatkan pembelajaran anak dan tidak hanya untuk memberikan
pengajaran mengenai suatu mata pelajaran tertentu.
Kerjasama
antara guru dan orang tua serta di antara para orang tua itu sendiri akan
memperkaya semua yang terlibat dan juga akan menjamin pendidikan yang lebih
baik dan bermakna. Ini juga akan memperkaya proses inklusi. Kerjasama dengan
organisasi-organisasi para penyandang cacat, dalam bebagai bidang, juga sangat
diperlukan dan akan memberikan pengayaan.
Lingkungan (Adaptasi -
Penciptaan Lapangan Kerja)
Adaptasi lingkungan
Adaptasi
Lingkungan dapat menjadi suatu hal yang sangat penting dalam menciptakan
lingkungan belajar yang akrab dan meningkatkan dorongan belajar. Disamping itu
kita mempunyai bidang-bidang khusus seperti orientasi dan mobilitas,
keselamatan dan kemandirian yang tergantung pada lingkungan yang disesuaikan
tetapi fungsional.
Pengadaptasian
lingkungan menjadi tantangan yang besar di banyak negara. Ini terkait dengan
masalah kesadaran tentang kebutuhan anak yang berbeda-beda dan pengetahuan
tentang cara memenuhi kebutuhan tersebut melalui penyesuaian lingkungan. Ini
juga terkait dengan masalah ketersediaan materi. Pemeliharaan dan perawatan
oleh para profesional dan oleh masyarakat pada umumnya dapat juga merupakan
suatu tantangan. Pada akhirnya ini juga merupakan masalah ekonomi.
Oleh
karena itu akan lebih bijaksana untuk memulai adaptasi di dalam lingkungan
sekolah dan rumah dimana banyak hal yang dapat dilakukan dengan sumber daya
yang sedikit. Di tempat-tempat ini akan lebih mudah untuk memelihara dan
mengkajinya dan menindaklanjutinya dengan pemeliharaan atau perawatan lebih
lanjut sesuai keperluan.
Penting
untuk diingat bahwa penyesuaian lingkungan yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan penyandang cacat itu juga akan memberikan keuntungan bagi semua
anggota masyarakat lainnya.
Penciptaan Lapangan Kerja
Banyak
keterlibatan dan kreatifitas diperlukan untuk mendapatkan atau menciptakan
pekerjaan bagi semua orang. Namun, menemukan atau menciptakan pekerjaan saja
tidaklah cukup. Seringkali kita harus memberikan informasi yang diperlukan
kepada para majikan dan pekerja lainnya. Beberapa jenis pelatihan seperti
pengajaran bahasa isyarat dan penyesuaian lingkungan mungkin diperlukan.
Walaupun
inklusi memberikan pengayaan bagi semua yang terlibat, penting untuk tidak
mengesampingkan tantangan-tantangan yang mungkin kita hadapi. Di sini saya akan
menekankan tantangan yang akan berdampak khusus pada para penyandang cacat.
Tantangan-tantangan tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
- Tantangan sosial emosional
- Mengembangkan interaksi dan komunikasi yang bermakna yang merupakan dasar bagi semua hubungan sosial dan pembelajaran
- Mengembangkan hubungan pertemanan yang tulus
- Mengatasi kesepian
- Jatuh cinta dan mendapatkan respon atau tanggapan
- Mengembangkan harga diri yang baik
- Tantangan yang terkait dengan pembelajaran dan perkembangan keterampilan
- Mengembangkan keterampilan bahasa fungsional
- Memperoleh penguasaan dan kompetensi melalui hubungan teman sebaya
- Tantangan yang berkaitan dengan penyiapan dan penataran para profesional yang bekerja dalam seting inklusif:
- Memperoleh pengalaman yang cukup
- Memperoleh pengetahuan baru
- Dapat berpartisipasi dalam memperkenalkan perubahan yang diperlukan dalam manajemen kelas dan sekolah agar proses inklusi dapat berjalan .
- Memobilisasi kreatifitas yang cukup sehingga dapat benar-benar memenuhi kebutuhan setiap siswa.
- Memastikan bahwa semua anak mengembangkan interaksi, komunikasi dan bahasa yang fungsional
- Memperoleh dukungan profesional bila memerlukannya.
Akhirnya
perkenankan saya mengulangi apa yang dikatakan oleh Mr. Lindquist dalam
konferensi Salamanca:
… bukan sistem pendidikan kita yang memiliki hak atas
anak-anak tertentu.
Melainkan sistem yang berlaku di sebuah negara yang harus disesuaikan agar
dapat memenuhi kebutuhan semua anak (UNESCO, 1994)
Melainkan sistem yang berlaku di sebuah negara yang harus disesuaikan agar
dapat memenuhi kebutuhan semua anak (UNESCO, 1994)
Daftar
Pustaka
- Befring, Edvard. 2001. The Enrichment Perspective. A Special Educational Approach to an Inclusive School. Article in Johnsen, Berit H. & Skjørten, Miriam D. (ed). Educational: An Introduction. Oslo, Unipub.
- Befring, Edvard. 2001. Introduction to History of Special Needs Education towards Inclusive. Article in Johnsen, Berit H. & Skjørten, Miriam D. (ed). Educational – Special Needs Education: An Introduction. Oslo, Unipub.
- Johnsen, Berit H. 2001. Curricula for the Plurality of Individual Learning Needs. Article in Johnsen, Berit H. & Skjørten, Miriam D. (ed). Educational – Special Needs Education: An Introduction. Oslo, Unipub.
- Rye, Henning. 2001. Helping Children and Families with Special Needs: A Resource-Oriented Approach. Article in Johnsen, Berit H. & Skjørten, Miriam D. (ed). Educational – Special Needs Education: An Introduction. Oslo, Unipub.
- Skjørten, Miriam D. 2001. Toward Inclusion and Enrichment. Article in Johnsen, Berit H. & Skjørten, Miriam D. (ed). Educational – Special Needs Education: An Introduction. Oslo, Unipub.
- UN 1948. Universal Declaration of Human Rights. United Nations
- UN 1991. Convention on the Rights of the Child. New York, United Nations
- UN 1994. Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disability. New York, United Nations
- UNESCO 1991. Education for all I, II & III. Jomtien, Thailand World Conference on Education for all
- UNESCO. 1994. The Salamanca Statement and Frame work for Action on Special Needs Education. Paris, UNESCO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar